Jumat, 25 Juni 2010

Aku ketauan

Entah mengapa aku menjadi gagu
saat membuka email. Sejak cerita
berjudul DOMPET, banyak teman
yang mengirimku email. Aku jadi
serba salah saat harus membalas
email yang memang beragam
inginnya. Ada yang sekedar
memberikan komentar, yang mau
kenalan, yang minta no HP, ada yang
ingin ketemuan, bahkan tidak sedikit
yang menanyakan ciri-ciri fisikku,
ukuran penisku, gayaku bercinta
dengan istriku, dan lain-lain.
Aku mungkin kaget dengan keadaan
yang tidak kubayangkan
sebelumnya, karena memang
alasanku semula mengirim cerita,
hanya ingin agar traumaku yang
sejak kecil kupendam, bisa sedikit
kubagi. Tidak mungkin aku cerita
tentang apa yang kualami kepada
sembarang orang, bahkan pada
sahabat terdekatku sekalipun, karena
menurutku, dengan membuka aibku
kepada seseorang, berarti aku sudah
menggadaikan hidupku padanya,
dan aku tidak mau itu. Pikirku,
dengan bercerita di dunia maya,
maka aku bisa seekspresif mungkin.
Aku tidak harus takut akan dihujat,
dihina, dicemooh, bahkan dijauhi,
karena toh tidak ada yang tahu
sedikitpun tentang aku.
Aku bingung saat harus menjawab
email yang intinya mengajak
ketemuan. Di satu sisi, tidak mau
mengecewakan yang telah
mencurahkan energinya untuk
mengirimku email, tetapi aku belum
siap untuk membuka diri. Terlalu
banyak yang harus dipertaruhkan
jika sampai ada yang tahu. Akhirnya
aku hanya bisa sedikit membatasi
diri. Namun kejadian selanjutnya
sungguh membuatku shock berat
dan tidak kubayangkan sebelumnya.
Jika biasanya langsung kuhapus
semua file begitu yakin ceritaku
terkirim, namun setelah mengirim
"Antara Dua Rasa", tidak kuhapus
karena akan kukirim ke teman-teman
yang tidak sedikit minta kiriman
ceritaku. Namun ternyata aku masih
manusia, yang jauh dari alpa.
*****
Setelah dari warnet, hari itu aku ke
kampus. Kuliah ekstensi-Filsafat, yang
dulu menjadi pilihan keduaku ketika
lulus SMA, setelah Teknik Sipil,
akhirnya bisa kuambil.
"Hafidz..! Naah, kebetulan ketemu.
Tinggal kamu yang belum
mengumpulkan tugas syarat ujian.
Tak tunggu sampai sore ini yaa!"
Tepukan di bahuku mengejutkanku
di tengah sibuknya aku mengisi
segala persyaratan ujian. Aahh, aab
Saddam (begitu biasa saya
menyebutnya karena selain asalnya
dari Irak, kumisnya yang melintang
menambah tepat julukan itu).
"Iyaa.. Pak, maaf. Banyak kerjaan.
Nanti kukirim tugasnya!"
Aku gugup, merasa bersalah, kenapa
tidak sekalian ketika di warnet tadi.
Namun sebelum beliau menjauh, aku
baru ingat bahwa aku telah
menyimpan tugas itu di disket, dan
aku ingat betul tadi kumasukkan
dalam tasku. Bergegas kuambil disket
dan mengejarnya. Sambil berbasa-
basi aku menyerahkannya.
Dua hari aku disibukkan dengan
proyek kantor, sampai saat
menjelang malam saat tiba di rumah,
istriku memberikan pesan dari aab
Saddam yang katanya siangnya ke
rumah. Aku berpikir keras, ada apa?
Kubaca pesannya sekali lagi. Yaah..
Hanya sebuah alamat dan sepenggal
tulisan, "Harap datang!".
Aku masih belum bisa menebak apa
gerangan, bahkan sampai ketika
kupencet bel kontrakan bercat krem,
sebagaimana alamat tertera. Dengan
senyum mengembang, aab Saddam
mempersilakanku masuk. Aku masih
bingung.
"Aahh, ceritamu bagus, Dj-Paijo!"
Plaak. Seolah tamparan keras telah
mengahantamku. Spontan aku
gemetaran saat nama samaranku
disebut. Wuiihh, disket itu. Aku baru
sadar bahwa aku telah salah
menyerahkan disket. Aku bengong.
Keringat dingin mulai mengucur.
"Maaf, jika membuatmu salah
tingkah. Buatku bukan apa-apa, dan
aku tahu perasaanmu!"
Sentuhan aab Saddam mengejutkan
keterpakuanku. Aku mencoba
menepisnya, namun aku benar-benar
di batas kebimbangan..
"Perlu kau ketahui, aku mengikuti
setiap ceritamu, Dj. Bayangkan, dari
bulan April, aku begitu terobsesi
dengan sosok yang ternyata adalah
salah satu mahasiswaku, ha-ha-ha"
Aku menyengir mencoba
mengimbangi tawanya. Entah
mengapa aku mulai sedikit lega
setelah mendengar pengakuannya.
"Kau pasti tahu Mr.DOT, kan?".
Aahh, iyaa. Sosok itulah yang paling
sering mengirimku email yang isinya
berbau cabul. Diakah?
"Tanpa kejadian inipun aku sudah
sangat terobsesi denganmu, Dj.
Setiap kau tidak masuk kelasku,
kuliahku jadi hambar. Tapi kini,
kuharap kau ngerti dan sedikit mau
berbagi!"
Aab Saddam semakin berani merajuk.
Aku menggeleng, mencoba meminta
pengertiannya. Tapi justru dia
semakin penasaran.
"Bukan tipeku pemaksa, Dj, tapi aku
ingin kau ngerti, please! Aku benar-
benar ingin lebih darimu"
Aku semakin serba salah. Aab Saddam
yang semula begitu kuhormati, kini
seolah monster yang siap melahapku.
Rasa tidak enakku sudah terkalahkan
dengan ketidakberdayaanku. Aku
hanya terdiam, pasrah.
"Istrimu, keluargamu, dan yang
mengenalmu tentu belum tahu
sebenarnya, kan? Dan aku juga yakin
kau belum siap untuk diketahui. So..
Gimana?"
Nada yang begitu sopan dan lirih,
justru telah mengulitiku habis.
Sangat berkesan memaksa. Aku
semakin membisu, ketika tangannya
menyentuh wajahku.
Ketidaksiapanku akan terbongkarnya
rahasiaku, membuat semakin leluasa
tangannya meraih apapun yang ingin
disentuhnya di diriku. Aku berpikir
keras dan tidak mau kalah sebelum
perang. Akal sehatku berputar,
mencoba menemukan apa yang bisa
kuperbuat. Ahaa.. Akhirnya aku
mendapatkan ide cemerlang.
Lumatan bibirnya yang semula
kurasakan hambar, kubalas jauh
lebih ganas. Aku harus benar-benar
berakting. Kugigit bibirnya, dia
mengaduh, namun aku tetap
mengganas. Meski terganggu dengan
kumisnya yang melintang tebal,
namun aku harus. Bahkan kini aku
yang mengambil inisiatif, harus
membuatnya terlena. Kutarik paksa
kaosnya, nyaris robek. Meski sudah
menduga sebelumnya namun aku
sempat terkejut juga dengan apa
yang di depanku. Darah Iraknya
membuat hampir semua badannya di
tumbuhi rambut. Sangat lebat. Aku
tak peduli. Kupagut semua yang
menempel di dadanya. Dua
putingnya kulumat dan kugigit.
Dia meraung, mendekapku erat.
Tangannya ganas mencopot bajuku,
sehingga tak seberapa lama, semua
yang kupakai sudah direnggutnya.
Aku pun berbuat yang sama. Kutarik
paksa celana dalamnya yang masih
tersisa, dan aah... aku sempat ngeri
melihat betapa panjang dan besar
penisnya. Bayangan betapa
wibawanya dia ketika sedang di kelas
yang begitu rapi, berdasi, sepatu,
rambut klimis suara berat, badan
kekar hilang sudah. Ahh sudah
kepalang.
Dia menindihku, garang. Aku
kelabakan menahan nafas saat
mulutku dibungkam dengan
mulutnya. Belum lagi gairah yang
membubung di ubun-ubun seiring
dengan permainan tangannya di
penisku. Dijilatinya hampir sekujur
tubuhku. Bahkan anusku yang aku
sendiri jijik membayangkannya, tak
luput dari jilatannya. Aku mendesah-
desah ketika sensasi luar biasa
kurasakan, setiap lidahnya menusuk-
nusuk anusku. Aku rancap penisku
seiring permainan gilanya. Aku
mengerang, bahkan sedikit
kudramatisir berharap agar dia
semakin memuncak, bernafsu dan
lupa diri.
Ketika mulutnya menemukan
penisku, kuhentikkan aksiku.
Kuajukan syarat, agar dia mau
ditutup matanya. Benar dugaanku,
hasrat membaranya tidak lagi bisa
membaca apa mauku. Dengan ganas
dilumatnya penisku. Aku semakin
mengerang. Aku berdiri, masih
dengan mendesah kumaju-
mundurkan pantatku. Semakin ganas
melumatku. Rasa nikmat yang
ditawarkan masih menyadarkanku
untuk mengambil ponsel kameraku.
Kubidik dengan pas setiap aksinya
melumat penisku. Kujambak
rambutnya dan kutengadahkan
wajahnya agar aku bisa membidik
tepat wajahnya. Kuambil pose
terbagus saat dia menjilati penisku.
Aku mendesah penuh kemenangan.
Kukembalikan ponselku, dan
kunikmati permainan.
Kubuka tutup matanya. Kuraih
penisnya yang sudah sangat tegang.
Rasa mual yang pernah hadir ketika
harus mengulum penis, kulupakan,
demi hebatnya aktingku. Dia mulai
meraung, ketika semakin kupercepat
mulutku. Tadinya aku hendak
menyerahkan anusku yang memang
sampai sekarang belum pernah
termasuki penis. Namun untungnya
dia sudah tidak tahan. Dia meraung
semakin keras. Aku yakin geloranya
sudah memuncak. Dipegangya
kepalaku dengan kuat. Tapi aku tidak
mau spermanya muncrat di mulut.
Dengan cepat pula kucabut mulutku,
dan kuraih penisnya. Kubanting dia,
dan mulai kubisikkan berbagai kata
di kupingnya yang bisa memacu laju
spermanya. Sambil kurancap, kugigit
berkali-kali kupingnya, dan akhirnya
dia meraung panjang, ketika
kurasakan spermanya muncrat
membasahi perutku. Didekapnya
tubuhku erat, seolah tidak hendak
dilepasnya. Aku tersenyum. Ah, satu-
satu.
Aku sudah hendak beranjak, saat dia
terbaring lemas. Namun ternyata dia
menuntut agar bisa melihat
bagaimana wajahku ketika spermaku
muntah. Tanpa pikir panjang, aku
berdiri. Kusodorkan penisku ke
mulutnya. Sambil berjongkok, dia
terus menatap wajahku. Aku
meringis, merem melek, menelan
ludah, mendesah dan banyak lagi
aksi wajahku yang menggambarkan
saat hasratku menegang. Dia semakin
mempercepat aksinya. Aku mulai
mengejang. Kurasakan spermaku
sudah di ujung tanduk untuk
dimuncratkan. Kucabut penisku dari
mulutnya. Kurancap kencang di
depan wajahnya, sambil mendesah
keras kumuncratkan spermaku ke
wajahnya. Belum habis spermaku
muncrat, dia kulum penisku.
Kusodokkan muncratan terakhir
spermaku ke mulutnya, penuh
dengan bahagia. Aku tak peduli
ketika dia telan spermaku.
Lebih dua jam kami habiskan berdua,
dan banyak hal yang dimauninya.
Aku tahu banyak darinya bahwa di
negaranya, dia tidak pernah
mendapatkan kenikmatan yang
diingininya. Dia hanya bisa merancap
diri sambil membayangkan lelaki
pujaannya, tidak lebih dari itu.
Namun, setelah 2 tahun di Jogja, dia
mula menemukan keasyikkan baru
yang semula hanya sebuah angan,
dan aku bisa membayangkan
bagamana bergairahnya dia setiap
melampiaskan hasrat terpendamnya.
Belum hilang rasa capekku, dia
kembali mencoba menaikkan
gairahku lagi. Sebenarnya aku tidak
mau lagi, karena malamnya aku harus
melayani istriku yang sudah 4 hari
tidak kukabulkan hasratnya. Namun
karena aku belum yakin akan
keberhasilan jepretanku, maka aku
hanya mengangguk dan
mengangguk, karena memang aku
belum tahu hasil jepretanku sebagai
senjata tandingannya.
Kami kembali bergumul, untuk
kesekian kalinya, dan aku tidak tahu
entah berapa kali aku harus bisa
berbaik-baik dengannya, dan entah
untuk berapa lama. Namun aku
berharap semoga hasil jepretanku
akan baik, dan bisa dijadikan senjata
tandingan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar